Iklan RBTV Dalam Berita

Kapan Perayaan Lebaran Jemaah An-Nadzir 2024? Mari Mengenal Jemaah An-Nadzir

Kapan Perayaan Lebaran Jemaah An-Nadzir 2024? Mari Mengenal Jemaah An-Nadzir

Kapan Perayaan Lebaran Jemaah An-Nadzir 2024? Mari Mengenal Jemaah An-Nadzir--

An-Nadzir masuk ke Gowa pada tahun 1998. Aliran ini dibawa oleh seorang ulama bernama Kiyai H Syamsuri Abdul Majid yang bergelar Syekh Imam Muhammad Al-Mahdi Abdullah.

BACA JUGA:Ini Hadis Nabi Tentang Penentuan 1 Syawal dan Keutamaan Bulan Syawal Salah Satunya Menikah

Sebelum masuk ke Gowa, Kiyai H Syamsuri Abdul Majid sudah berdakwah ke berbagai penjuru daerah di Indonesia.

Hingga akhirnya, aliran ini dibawa ke Gowa atas inisiatif beberapa orang yang kerap mengikuti tausiyah dari Kiyai H Syamsuri Abdul Majid

Dalam safari dakwahnya, Kiyai Hj Syamsuri Abdul Majid kerap membawakan tema sentral terkait penegakan hukum Allah dan Rasul-Nya di muka bumi.

Setelah melakukan safari dakwah, pengikut aliran ini semakin bertambah hingga ribuan orang. Kemudian, pada tahun 2002, dibuatlah suatu wadah untuk mengumpulkan para jemaah.

BACA JUGA:Lebaran Sebentar Lagi! Begini Cara Melihat Hilal Secara Ilmiah Tanpa Alat

Nama An-Nadzir sendiri memiliki makna pemberi peringatan. Memberi peringatan dalam hal ini haruslah dimulai dari diri sendiri serta orang-orang terdekat.

Aliran ini kemudian mulai banyak mendapat sorotan sejak Kiyai H Syamsuri Abdul Majid wafat pada tahun 2006.

Kepemimpinan An-Nadzir saat itu dilanjutkan oleh Ustadz Rangka yang diyakini sebagai sosok yang paling layak menggantikan Kiyai H Syamsuri Abdul Majid.

BACA JUGA:Begini Cara Menentukan Lebaran Idul Fitri Versi Muhammadiya, NU dan Pemerintah

Saat itu, atas saran dari Ustaz Rangka, jemaah An-Nadzir yang sebagian besar berasal dari Palopo memutuskan hijrah dan membangun perkampungan di Gowa.

Perkampungan tersebut tepatnya berada di Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulsel.

Saat itu, kelompok An-Nadzir membangun suatu pemukiman dengan membebaskan lahan masyarakat sedikit demi sedikit.

Karena lahan saat itu masih terbatas, para jemaah membangun tempat tinggal berupa barak yang ditinggali 4 hingga 5 kepala keluarga (KK).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: