Dempo Xler: Tarekat Sebagai Senjata Pemberantasan Korupsi
Ketua Komisi I DPRD Kota Bengkulu, Dempo Xler--
Dalam perspektif tasawuf, dedikasi sosial dalam membantu pemerintah menegakkan hukum. Guna memberantas korupsi merupakan tanda keimanan dan kedalaman spiritualitas seseorang yang hanya berkonsentrasi pada realisasi kedekatan terhadap Tuhan.
Bagi Tarekat Sufi, orang yang mengaku beriman
dan bertauhid secara benar. Namun tidak peka terhadap kebutuhan orang lain, maka hakikatnya dia belum terlepas sepenuhnya dari unsur kemusrikan. ‘Abd al-Qadir alJaelani (2007).
BACA JUGA:Cara Cepat Mendapatkan Voucher Indomaret Gratis, Belanja Lebih Murah dan Praktis
Tasawuf, sebagaimana dijelaskan oleh Helminski (2000),
adalah sebuah jalan yang menekankan kesadaran diri (selfawarness). Ketergantungan antar sesama manusia (human interdependency), kreativitas, amal praktis, keadilan sosial, dan cinta ilahi yang utama.
Oleh karena itu, tasawuf merupakan jalan spiritualitas seseorang yang tertuntun. Sangat berharmoni dengan seluruh aspek kebaikan manusia. Tidak mempertentangkan pencapaian spiritual dengan kehidupan individual dan sosial. Karena tarekat sufi mengedepankan moral, apalagi merusaknya dengan sistematika korupsi yang tidak bermoral.
BACA JUGA:Nasib Beruntung, 5 Shio Ini Punya Magnet Pengeruk Uang, Rezeki Nggak Perlu Dicari
Intinya, selain mengajarkan bagaimana sepatutnya menghamba kepada Tuhan. Tasawuf mengajarkan bagaimana berkhidmat total kepada sesama makhluk yang berasal dari Tuhan. Bertindak zalim dan merugikan banyak orang dalam perspektif ini merupakan tanda dangkalnya keimanan dan keringnya nilai-nilai ruhani seseorang.
Tindak pidana korupsi dari sudut pandang tasawuf, merupakan efek dari cinta dunia yang menipu dan ingkar kepada Allah. Cinta dunia dapat membutakan mata hati kepada Allah. Sehingga orang yang terjangkit penyakit ini akan merusak segala aturan dan hukum demi memuaskan hasrat ketidak benarannya.
BACA JUGA:Memudahkan Pekerjaan, Gunakan ChatGPT Program AI yang Cerdas, Ini Cara dan Tipsnya
Al-Ghazali (2004), mengatakan bahwa, kenikmatan dunia dalam hati ibarat kenikmatan makanan yang masuk ke dalam perut. Ketika mati, seseorang akan mendapati kenikmatan dunianya selama ini berbau busuk dan menjijikkan. Menjadi lebih buruk dan menyengat. Begitu pula setiap syahwat hati yang lebih menggoda dan membutakan, bau busuknya lebih besar dan sangat mengganggu.
Oleh sebab itu, dalam pandangan al-Ghazali, dunia ibarat kapal penumpang yang singgah di sebuah pulau untuk istirahat dan mengisi bekal keperluan. Jangan sampai terlena di persinggahan ini. Sehingga lupa bahwa kita sedang dalam perjalanan menuju pulau akhirat, tempat kebahagiaan sesungguhnya.
Olah spiritual (riyadhah) yang dijalankan oleh kaum tarekat sufi dalam hal ini, merupakan terapi untuk menekan dan meluruskan kecenderungan duniawi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: