Iklan RBTV Dalam Berita

Saksi Ahli Kasus Vina Cirebon Dihadirkan di Sidang Praperadilan Kasus Asusila di PN Arga Makmur Bengkulu Utara

Saksi Ahli Kasus Vina Cirebon Dihadirkan di Sidang Praperadilan Kasus Asusila di PN Arga Makmur Bengkulu Utara

Sidang Praperadilan kasus asusila di PN Arga Makmur Bengkulu Utara--

BACA JUGA:Dear Ayah dan Bunda, Ini 11 Cara Mendidik Anak Generasi Alpha di Era Serba Digital

Tentu jika pemanggilan saksi tidak sesuai dengan peraturan tersebut menjadikan proses penyidikan menjadi cacat formil, termasuk adanya beberapa kesalahan dalam surat menyurat yang dibuat Penyidik misalnya penomoran surat yang tidak lazim, lalu SPDP yang tidak diberikan terlapor maksimal 7 hari sejak dibuat surat perintah penyidikan merupakan catatan penting evaluasi dari tindakan penyidikan. 

Kata ahli, hal tersebut dapat mengurangi nilai keakuratan penyidikan yang endingnya dapat cacat formil/ketidaksahan penyidikan yang telah dilakukan. 

BACA JUGA:Nyari Kerja Susah? Ini 10 Alasan Kenapa Gen Z Banyak yang Nganggur

Karena memang praperadilan tidak berbicara pokok perkara tetapi menguji tentang syarat formil yang dilakukan oleh termohon/kepolisian dalam menjalankan kinerjanya apakah sesuai dengan KUHAP atau Perkap Kapolri nomor 6 tahun 2019 tentang penyidikan perkara pidana.

Menurut saksi ahli ketika sudah dikeluarkan Surat Perintah penyidikan (Sprindik) maka penyidik atau termohon wajib mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). 

BACA JUGA:Gagal ke Senayan, Ini Deretan Anggota DPR Terpilih yang Dipecat Partainya Jelang Pelantikan 1 Oktober 2024

Surat Perintah dimulainya penyidikan yang juga dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor atau korban dan terlapor dalam waktu paling lama 7 hari setelah diterbitkan surat perintah penyidikan karena proses tersebut sudah diatur dalam pasal 13 perkapolri Nomor 6 tahun 2019. 

Ketika penyidik tidak memberikan informasi dan menyampaikan haknya untuk menerima surat SPDP yang sudah diatur dan menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh penyidik maka hal tersebut merupakan cacat hukum.

BACA JUGA:5 Provinsi yang Anggaran Belanja Pegawainya Tertinggi di Indonesia, DKI Jakarta Nomor 5

Hak bagi terlapor untuk mempersiapkan dirinya ketika menghadapi masalah hukum yang dilaporkan pelapor merupakan filosofi SPDP diberikan juga pada terlapor disamping kepada jaksa/pelapor dan kewajiban bagi penyidik untuk memberikan kepada terlapor merupakan implementasi dari putusan MK (mahkamah konstitusi) Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya “Penyampaian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi juga terhadap pelapor/korban dan terlapor” dan Peraturan Kapolri nomor 6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (3): “setelah Surat Perintah Penyidikan Diterbitkan, dibuat SPDP”, dan Pasal 14 ayat (1): “SPDP sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada Penuntut Umum, Pelapor/Korban, dan Terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan”.

BACA JUGA:Jangan Salah Beli, Ini Ciri Akar Bahar Asli yang Sulit Dibedakan

Ahli menyampaikan bahwasanya dalam proses penyelidikan membutuhkan suatu bukti lainnya salah satu yang sangat penting olah TKP untuk memperjelas atau memberikan titik terang dalam penetapan suatu tersangka. 

Karena tidak hanya pemeriksaan saksi korban saja untuk menemukan suatu bukti yang cukup tetapi harus ada hal lain salah satunya adalah melakukan olah TKP terhadap lokasi di mana terjadinya suatu tindak pidana termasuk memasang police line, mengamankan TKP, memeriksa saksi di sekitar TKP dan tindakan lain yang diatur Perkap Kapolri.

Ketika itu tidak dilakukan maka nilai pembuktian dari saksi saksi korban/bukti surat visum yang dijadikan patokan menjadi kurang bernilai menyebabkan cacat hukum penyidikan tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: